Thursday, September 17, 2009

TITUS NATKIME, SH (Indonesia Version)


                 
"PERJALANAN SUATU PERJUANGAN MENCARI KEADILAN DALAM KEBENARAN TERKAIT KEDUDUKANNYA SEBAGAI PEMILIK TANAH HAK ULAYAT DAN SEBAGAI KORBAN PENGOPERASIAN OLEH PT FREEPORT INDONESIA"
 
TIMIKA—PAPUA 2009
 
PRAKARTA

Terlahir ke bumi sebagai seorang keturunan Suku Amungme di Tanah yang begitu kaya adalah hak murni Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian sebuah nama yaitu Titus dari keluarga Natkime adalah hak pemberian dari kedua orang tua; bertumbuh menjadi anak-anak, remaja dan dewasa adalah satu proses kehidupan, namun kesempatan untuk dapat mencari dan mengerti tujuan dari kehidupan ini serta kesempatan untuk mendapatkan ilmu, pendidikan dan memahaminya juga untuk bertahan dalam menjalani proses kehidupan itu sendiri adalah suatu perjuangan dan pilihan pribadi.
Dalam tulisan ini, saya ingin membuka mata hati semua pihak dan memperkenalkan, sekaligus memberi gambaran kepada seluruh dunia secara objektif, tentang apa yang sesungguhnya terjadi di ujung bumi yang terpencil, yang dikenal dengan sebutan Tanah Amungme, tempat beroperasinya salah satu Perusahaan terbesar di dunia, PT Freeport Indonesia sebagai Perusahaan Pertambangan terbesar dunia. Sudah tentu di tanah di tempat ini terdapat sumber daya alam yang begitu kaya dan yang menjadi sorotan mata dunia sehingga memberi dampak yang siginnifikan dalam perekonomian dunia, namun sesungguhnya di balik semua cerita indah dan maha dahsyat itu, perlu diketahui bahwa kehidupan Masyarakat para pemilik hak ulayat tidaklah sesuai dengan apa yang seharusnya dialami dan diterima, sesuai dengan alasan mengapa Tuhan memberikan kekayaan itu berada di dalam tanah yang mereka huni.
Dalam proses perjalanan perjuangan kehidupan yang penuh dengan suka dan duka, akhirnya dengan seijin-Nya, selaku salah seorang anak pewaris Hak Ulayat yang mewakili Masyarakat Suku Amungme, yang menjadi korban dari ketidakwajaran hak yang harus diterima dari aktifitas pengoperasian PT Freeport Indonesia, selama beberapa tahun ini saya telah mempersiapkan diri dan dengan ini bertujuan untuk berjuang mencari keadilan dalam kebenaran yang sesuai dengan Hukum.
Besar harapan saya bahwa tulisan ini dapat memberikan pengertian yang lebih jelas mengenai kedudukan semua pihak, khususnya PT Freeport Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia dan Masyarakat Suku Amungme sendiri serta akhirnya dapat memberikan solusi yang adil dan menguntungkan bagi semua pihak. Kami mengharapkan dukungan doa dari semua pihak agar dapat membantu kelancaran proses perjuangan mencari keadilan ini.
Kiranya Tuhan menyertai kita, senantiasa!


Timika, 27 Mei 2009
Penulis,
TITUS NATKIME, SH



DAFTAR ISI

Prakata                                          
Bab I : Suku Amungme    
                                
Bab II : Kontrak Karya          
                         
Bab III : Fakta dan Sejarah (Pemerintah, PT Freeport, dan Masyarakat)     

Bab IV : Saham – Saham         
                        
Bab V : Perjuangan untuk Mencari Keadilan dalam Kebenaran       
 
Bab VI : Harapan Baru                                 

Bab VII : Tujuan Perjuangan Mencari Keadilan        
             
Bab VIII : Penutup                                   





BAB I

SUKU AMUNGME


SUKU AMUNGME PEMILIK HAK ULAYAT


Masyarakat suku Amungme adalah penduduk asli yang secara turun-temurun telah mendiami kawasan di sekitar areal penambangan PT. Freeport Indonesia yang terletak di wilayah Tembagapura. Suku Amungme merupakan pemilik hak ulayat dan diakui berdasarkan undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang pokok–pokok Agraria. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri dan merupakan suatu kenyataan, dimana suku Amungme sudah hidup turun-temurun di sekitar lembah Waa, yang pada saat ini telah menjadi daerah penambangan emas dan tembaga, yang dikelola oleh PT. Freeport Indonesia;

     Kehidupan Masyarakat Suku Amungme sebelum PT Freeport beroperasi

Masyarakat Suku Amungme sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan selaku pemegang Hak Ulayat seharusnya dan sepantasnya mendapatkan kehidupan yang sejahtera, dilindungi serta dijamin oleh Negara berkaitan dengan hak-hak dasar sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Pengertian di atas telah ditegaskan pula di dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 6 yang menyatakan, "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial."
Ketentuan ini memiliki pengertian bahwa pemakaian atau pengelolaan tanah haruslah memperhatikan kepentingan Masyarakat. Dengan demikian, pengelolaan dan pemakaian tanah adat Suku Amungme yang dilakukan oleh suatu Badan Hukum atau Perusahaan haruslah memperhatikan kepentingan Masyarakat suku Amungme dan tidak boleh merugikan kepentingan Suku Amungme selaku Pemilik Hak Ulayat.
Sebagaimana ketentuan Pasal 3 yang menjelaskan, "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan 2 Pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat–masyarakat Hukum adat, sepanjang masyarakat tersebut masih ada, dan haruslah dengan cara sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan azas persatuan Bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi." Dengan kata kain, Hak Ulayat yang dimiliki oleh Suku Amungme tersebut haruslah dihormati dan dihargai sebagai hak secara turun- temurun. 


Kekayaan Alam dan Gunung Masyarakat Suku Amungne

Gunung yang menjadi korban pengoperasian pertambangan PT Freeport

Seluruh Area Operasi PT Freeport Indonesia

 
BAB II

KONTRAK KARYA

PT FREEPORT INDONESIA 

Sejarah masuknya PT. Freeport ke Indonesia bermula saat Manager Eksplorasi Freeport Minerals Company, Mr. Forbes Wilson pada Tahun 1960 melakukan ekapsedisi ke Irian Jaya (Papua), setelah membaca sebuah laporan tentang ditemukannya Erstberg atau gunung bijih, yaitu sebuah cadangan mineral, oleh seorang Geolog Belanda, Mr. Jean Jacques Dozy, Tahun 1936.





       (Mr. Forbes Wilson & Team Geologist)

Pada bulan Juni 1966. Tim Freeport diundang ke Jakarta untuk memulai pembicaraan tentang Kontrak Karya pada tanggal 17 Juli 1967 dan terjadilah penandatangan kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia. Salah satu landasan Hukumnya adalah Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang ketentuan–ketentuan pokok Pertambangan.
Salah satu konsekuensi hukum yang harus ditaati oleh PT. Freeport Indonesia selaku Badan Hukum (Perusahaan asing) adalah sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 25 Undang-Undang No : 11 Tahun 1967, yang menyatakan, "Pemegang kuasa Pertambangan berkewajiban memberikan ganti rugi pada pemilik tanah akibat kegiatan pertambangannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja telah menimbulkan kerugian pada pemilik tanah." Selain itu, dalam ketentuan pasal 27 juga ditegaskan, "Bahwa setiap orang yang mempunyai hak atas tanah yang dijadikan kawasan pertambangan, maka kepada yang berhak tersebut diberikan ganti rugi dari perusahaan yang bersangkutan." Sedangkan dalam ketentuan dalam Pasal 30 mengharuskan "bahwa setelah selesai penambangan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya berupa penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya."

Presiden Soeharto


Pada saat yang bersamaan, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturan perundang–undangan No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan PT. Freeport merupakan salah satu penanam modal Asing di Indonesia. Pada Bulan Desember Tahun 1967, pengeboran Eksplorasi mulai dilakukan di Erstberg yaitu selama bulan Januari—September 1967. Berbagai negosiasi telah dilakukan dalam rangka pengumpulan dana untuk membiayai proyek, sedangkan study kelayakan sudah dirampungkan dan disetujui pada bulan Desember 1967, padahal waktu itu Papua belum resmi sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan status Papua masih di bawah pengawasan PBB melalui UNTEA, sedangkan Papua (Irian Jaya) resmi masuk kepangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1969.

Penduduk menunggu kedatangan Presiden Soeharto dalam kunjungannya


BAB III

FAKTA DAN SEJARAH
(PEMERINTAH, PT FREEPORT DAN MASYARAKAT)
PELANGGARAN HAK-HAK ADAT MASYARAKAT SUKU AMUNGME

Kenyataan yang lebih tidak mengenakan bagi Suku Amungme yaitu mengenai Wilayah kehidupannya yang sebelumnya tenang, bersahaja dan damai, pada akhirnya terganggu oleh kehadiran Perusahaan Pertambangan, dan saat itu kontrak karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeeport tidak sedikitpun meminta persetujuan Masyarakat Suku Amungme yang pada faktanya sudah hidup turun temurun di wilayah itu, seolah-olah Pemerintah Indonesia adalah satu-satunya penguasa penuh atas wilayah yang telah di-kontrak-karyakan tersebut, dan sama sekali tidak menganggap keberadaan penduduk Asli yang tinggal dan hidup serta yang secara sah memiliki wilayah itu. Apalagi jika dikaitan dengan Undang-Undang yang berlaku antara lain Undang-Undang Dasar 1945, hak-hak Masyarakat adat yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lain-lain.

PEMBERIAN IJIN LISAN UNTUK PENGELOLAAN ATAS KEKAYAAN TANAH MASYARAKAT SUKU AMUNGME 



Survey dan pembangunan infrastruktur awal PT Freeport


Terhadap survey pertama yang dilakukan PT. Freeport McMoran Copper di Daerah Amungme, saat itu Masyarakat suku Amungme – sebagai pemilik hak ulayat – dengan rela memberikan harta kekayaan yang merupakan hak atas tanah adat berupa tanah, hutan dan hasil bumi yang ada di dalamnya untuk diolah karena Bapak Tuarek Natkime (almarhum) sangat berharap atas kehadiran orang-orang berkulit putih (Freeport), dengan janji-janji yang diungkapkannya saat itu, yang diyakininya akan mengubah status kehidupan kami sekalian suku Amungme menuju kehidupan yang lebih baik. Ini adalah karena ketulusan hati Bapak Tuarek Natkime (Ayah penulis) terhadap PT. Freeport McMoran. Hal itu diakukan hanya didasarkan atas kepercayaan, tanpa ada jaminan tertulis. Hal itu dia lakukan disamping karena keterbatasan pengetahuannya tentang kandungan kakayaan sumber daya alam dalam tanah kami, juga karena semangat kemanusiaan dan persaudaraan seperti yang dijanjikan oleh pihak Freeport kepada Almarhum orang tua kami, disaksikan beberapa anaknya dan senantiasa diulang terus-menerus pada anak-anaknya yang lain. Pada waktu Mr. John Curri secara lisan berjanji kepada Almarhum Bapak Tuarek Natkime : "Kami, Freeport McMoran akan menanam pohon apel di tengah-tengah tanah Mulkini, nanti kalau sudah berbuah anak-anak kita akan memetiknya bersama-sama" (Jika tambang sudah menghasilkan uang, maka kita semua menikmatinya bersama).

PEMBODOHAN PT FREEPORT TERHADAP SUKU AMUNGME 

Pada akhirnya nyatalah bahwa janji-janji tersebut hanyalah janji-janji kosong belaka. Bahkan sebaliknya banyak peristiwa pelecehan atas Hak Asasi Manusia Papua terjadi dengan mengorbankan hak dasar untuk menentukan nasib suatu bangsa, dan jika secara khusus kalau kita menelusuri pendekatan yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia maka sejarahnya akan berubah menjadi suatu pencaplokan paksa dengan memperalat Masyarakat Suku Amungme yang lugu dengan iming-iming semua makanan-makanan kaleng yang aneh, di mana makanan-makanan tersebut di kemudian hari dikenal oleh Masyarakat suku Amungme sebagai media pembodohan yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia terhadap Masyarakat suku Amungme. 

PEMAKSAAN TERHADAP SUKU AMUNGME 

Sekitar Bulan Mei 1970 konstruksi dalam skala besar telah dimulai dan diikuti dengan pengapalan (Eksport) Konsentrat Tembaga pertama yang bersifat uji coba. Pada tahun itu juga mulailah timbul keresahan pada Masyarakat Suku Amungme yang semakin nyata dan semakin membesar karena bersamaan dengan peristiwa itu PT. Freeport Indonesia mulai melakukan penggundulan hutan dan secara paksa mengusur penduduk setempat di Mulkini, karena tempat mereka akan digunakan untuk membangun kota Tembagapura yang akan dijadikan area pemukiman bagi karyawan PT. Freeport Indonesia, karena Tambang Erstberg telah siap beroperasi . . .
Kekerasan terhadap Masyarakat suku Amungme itu dilawan dalam bentuk satu aksi protes dengan memasang patok-patok silang di lokasi yang hendak dibangun untuk dijadikan kota Tembagapura. Pada saat itulah PT. Freeport Indonesia melalui Pemerintah segera mendatangkan TNI-AD untuk menangkap anggpta Masyarakat Suku Amungme yang ikut memprotes PT. Freeport Indonesia, dan dengan sangat terpaksa Masyarakat suku Amungme melepaskan hak-hak mereka karena ditodong dengan senjata api.

PRESIDEN SOEHARTO – KESEPAKATAN JANUARI

  
Presiden Soeharto bersama J.B Moffett

Pada Sejak saat itu, Presiden Soeharto (Alm) meresmikan Bandara Timika menjadi bandara Internasional di Kabupaten Mimika yang semuanya bertujuan hanya untuk kepentingan usaha PT. Freeport saja. Kemudian, pada tanggal 7 Maret 1973, Presiden Republik Indonesia Soeharto meresmikan nama tempat yang dalam bahasa Amungme Mulkini Waa menjadi kota Tembagapura.
Pada tanggal 6-7 Januari 1974 diadakan pertemuan antara suku Amungme dengan PT. Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia yang dikenal sebagai "January 1974 Agreement." Dalam pertemuan dua hari tersebut dihasilkanlah satu "kesepakatan tertulis," yang intinya ialah, PT. Freeport Indonesia bersedia membangun Sekolah dan perumahan guru, sebuah poliklinik dan perumahan perawat, sebuah pasar dan pusat perbelanjaan, dan membangun beberapa rumah penduduk. namun pada butir terakhir kesepakatan itu dikatakan bahwa Masyarakat Suku Amungme dilarang memasuki kawasan PT Freeport Indonesia.

Dalam pertemuan segi tiga antara tetua-tetua adat suku Amungme, Pemerintah Indonesia, dan PT. Freeport pada tahun itu juga, seorang tetua suku Amungme menyatakan "Naino, aoe nawartnin, aoeo," – sambil menujuk Mr. Lithem, Vice President PT. Freeport Indonesia – na buknin, na nonin, na nekela nin, na nokoing noma nin, na nortagama nin, mangkagam uyan emelengamo." ["Baiklah, kalau kamu berpendapat demikian, Mr. Lethem, atas pelepasan tanahku, gunungku, hutanku, lokasi perburuanku, dusunku yang kamu bongkar, saya minta potong rotan dan serahkan ujungnya kepada kami . . ."] Adapun makna ucapan ini adalah, Masyarakat suku Amungme meminta kepada PT. Freeport Indonesia mengajak mereka maju dan berjalan bersama dalam arti seluas-luasnya, meskipun mereka dengan sangat terpaksa harus melepaskan harta kekayaan milik mereka secara turun-temurun yang sangat berharga itu.

TUAREK NATKIME

             Tuarek Natkime

Tetua adat suku Amungme, Tuarek Natkime yang juga dikenal sebagai Kepala Suku Besar Suku Amungme, pemegang Hak Ulayat, pernah menyatakan, "Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan menciptakan gunung, batu dan salju yang indah ini di daerah suku Amungme?
Apakah karena salju dan gunung-gunung batu yang indah yang kaya dengan sumber mineral yang menarik PT. Freeport, TNI/POLRI, Pemerintah dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita, dan oleh sebab itu kami orang Amungme harus terus-menerus ditekan, ditangkap dan dibunuh tanpa alasan? Jika itu alasan-Mu, lebih baik musnahkan kami, punahkan saja kami agar mereka bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki, tanah kami, gunung kami dan setiap penggal sumber daya kami."
Tuarek memahami dan menyakini bahwa pada dasarnya yang disebut sebagai January 1974 Agreement itu tidak lain hanyalah merupakan keinginan serta kehendak dari PT. Freeport Indonesia saja, dan tidak sedikitpun keinginan Masyarakat Suku Amungme tercermin disitu. Dengan demikian semangat kemanusiaan dan kebersamaan hidup dalam wilayah tanah kami saat ini tidak pernah terjadi – apalagi pada Masyarakat suku pemilik hak ulayat atas tanah yang dipakai oleh PT. Freeport Indonesia tersebut. Jadi, jelaslah bahwa PT Freeport Indonesia tidak menghargai hak-hak kami sebagai pemilik hak ulayat atas tanah yang mereka pakai untuk menambang.


PEMBERONTAKAN SUKU AMUNGME 

Pada tahun 1977 pemberontakkan kembali terjadi untuk memprotes kehadiran PT. Freeport Indonesia, yang telah merampas hak-hak Masyarakat Suku Amungme. Ternyata aksi ini dijawab dengan berondongan peluru dan bom yang dilontarkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sehingga banyak anggota suku Amungme yang menjadi korban. Keesokan harinya suku Amungme bertambah marah. Mereka memotong pipa-pipa saluran tambang yang berfungsi untuk menyalurkan konsentrat tembaga dari mil 74 ke pelabuhan Amamapare. Namun tindakan itu kembali mendatangkan hujan peluru dan bom yang menghancurkan Desa Waa dan Kwamki lama, dan memaksa masyarakat suku Amungme lari bersembunyi ke hutan dalam jangka waktu yang lama;

PANDANGAN SUKU AMUNGME TERHADAP PT FREEPORT 

Demikianlah perjalanan hubungan "kemitraan" antara pemilik hak ulayat, Suku Amungme dan PT. Freeport Indonesia. Suku Amungme dengan rela bersedia memberikan tanah kehidupannya untuk suatu usaha penambangan, sampai akhirnya, pada tahun 1982, Freeport Minerals Company dibeli oleh McMoran Oil and Gas Company yang dipimpin oleh James Moffett. Namun, ternyata tidak juga ada perubahan. 

KONDISI PT FREEPORT DI MATA DUNIA

Pada tahun 1989, Freeport mulai menggali endapan tembaga dan emas Grasberg yang melimpah, sehingga menjadikan PT. Freeport dari satu perusahaan penghasil logam yang biasa-biasa saja menjadi salah satu usaha pertambangan yang paling menguntungkan dan paling besar di dunia. Ekspansi perusahaan menciptakan pertumbuhan ekonomi di sekitar daerah tambang dan menjadikan PT. Freeport Indonesia sebagai perusahaan pembayar pajak terbesar di Indonesia.
Pertumbuhan PT Freeport begitu pesat sehingga menjadi Perusahaan raksasa yang memiliki penghasilan atau keuntungan yang sangat besar dan menggiurkan orang dan para pebisnis dunia. Namun, di pihak lain, Masyarakat Suku Amungne sangat menderita yang tidak mendapatkan kesejahteraan hidup maupun kedudukan yang memadai dalam perusahaan tersebut. Mereka hanyalah karyawan biasa, padahal Masyarakat Papua, khususnya Suku Amungme adalah pemegang hak ulayat atas tanah pertambangan tersebut. Sebaliknya, masyarakat non-Papua ditempatkan serta memiliki kedudukan yang tinggi di PT Freeport, padahal kemampuan kerja orang Amungme sudah tidak bisa diragukan lagi. Walaupun demikian kenyataannya namun semua kegiatan operasional PT Freeport berjalan terus menerus.

KETERLIBATAN MILITER DALAM KEPENTINGAN PT FREEPORT

PT Freeport Indonesia yang didukung oleh Militer Elit Indonesia diduga telah melakukan pelanggaran berat atas hak-hak asasi Masyarakat asli dan mereka harus diperiksa. Tanah dan hutan telah rusak akibat penambangan emas dan tembaga. Lingkungan hidup semakin lama semakin hancur akibat kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.


    
Kerusakan Lingkungan akibat Penambangan PT Freeport

Kenyataannya, orang Amungme dan kehidupannya sejak Tahun 1967, ketika ditemui oleh tim explorasi pertama di lembah Waa masih tetap sama dan tidak berubah sampai saat ini. 


Orang Amungme di
sekitar penambangan PT Freeport Indonesia

 
Kehidupan Masyarakat suku Amungme sejak tahun 1967 sampai sekarang masih tetap sama. Diperkirakan bahwa 50 tahun mendatang, orang-orang Amungme dan Kamoro akan menjadi orang-orang termiskin dari orang miskin di Tanah Papua, jika sampai saat ini PT Freeport tidak memikirkan kelanjutan hidup warga Masyarakat suku Amungme di kawasan PT Freeport Indonesia pasca masa penambangan.
Saya ingat bahwa apa yang dikatakan Tuarek Natkime itu benar: "Mereka datang hanya untuk membunuh kami supaya mereka dapat mengambil semua yang ada di perut bumi ini untuk istri dan anak-anak mereka." Juga doa yang dipanjatkan Tuarek Natkime sebagai keluhan hatinya atas apa yang terjadi terhadap Masyarakat Amungme. Dalam doanya, ia berkata "Mengapa Tuhan menaruh emas dan tembaga di dalam tanah hak ulayat orang Amungme?"
 
KERUSUHAN TAHUN 1996
(DANA 1%, LPMAK, KESEPAKATAN, LEMASA)

Pada bulan Maret 1996 terjadi lagi kerusuhan di Kota Tembagapura yang dilakukan oleh semua lapisan masyarakat di sekitar kawasan itu. Dengan adanya kejadian ini, secara langsung PT. Freeport Indonesia menawarkan dana sebesar 1% (satu persen) dari penghasilan kotor Freeport untuk kesejahteraan masyarakat. Dana ini dikelola oleh LPMAK dan di bawah pengawasan PT. Freeport Indonesia secara ketat. Namun ternyata dana tersebut hingga saat ini tidak pernah dinikmati oleh Masyarakat Suku Amungme maupun keenam suku yang ada di Timika. Dana 1 % itu sejak tahun 1996 – 2009 dipegang oleh PT Freeport sendiri. Jadi berlakulah istilah, "Kepala dipegang ekor juga dipegang."
Pada tahun 1997-1998, secara berturut-turut Masyarakat Suku Amungme melakukan tindakan Hukum dengan mengajukan gugatan terhadap PT Freeportr. Gugatan dilakukan oleh wakil Masyarakat Suku Amungme, Bapak Tom Beanal. Namun pada tahun 2000 terjadi suatu perubahan cara berfikir dan Mr. James Moffett, selaku pemegang saham terbesar PT Freeport, langsung bertindak dengan membuka diri untuk memasuki masa kesejajaran dan kesetaraan antara pemilik hak ulayat dengan pengelola tambang. Ini disertai dengan penandatanganan kesepakatan antara Freeport McMoran dengan LEMASA, pada tanggal 13 Juli 2000 di New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat. Hasil kesepakatan tahun 2000 antara PT Freeport dengan LEMASA itu tidak berjalan sampai saat ini, hanya janji diatas kertas tapi sulit di buktikan.

PEMBANGUNAN BANTI I

Pada tanggal 29 Desember 2000 akibat terjadinya longsor Danau Wanegen di Grasberg, dan memakan korban 14 karyawan PT. Freeport Indonesia serta harta benda Masyarakat suku Amungme: kebun hancur, di samping itu kandang serta babi-babinya hanyut dan perumahan Masyarakat di Banti juga hanyut, sehingga Masyarakat Amungme melakukan protes ke PT. Freeport Indonesia. Atas tindakan ini ditandatangilah kesepakatan pembangunan Perumahan di Desa Waa Banti I antara PT. Freeport Indonesia dengan Masyarakat Amungme. Dalam kesepakatan tersebut antara lain berisi: "PT. Freeport siap membangun perumahan dari kayu untuk Masyarakat Suku Amungme di Banti I ".


Pembangunan di Banti I
 
TUNTUTAN MASYARAKAT SUKU AMUNGME
(Dana Perwalian)

Pada tanggal 27 Juni 2001 Masyarakat Suku Amungme mengajukan tuntutan dengan melayangkan somasi melawan PT. Freeport Indonesia, dan sebelum tuntutan tersebut berlanjut diproses di pengadilan, secara sepihak PT. Freeport Indonesia meminta agar Masyarakat suku Amungme selaku PENGUGAT segera membatalkan atau mencabut gugatan tersebut. Dan atas permohonan PT. Freeport. Untuk itu, para utusan PT. Freeport Indonesia dan Masyarakat suku Amungme – Kamoro berangkat ke New Orleans, Amerika Serikat untuk mengadakan kesepakatan tentang pemberian Dana perwalian kepada Masyarakat Suku Amungme – Kamoro dengan memberi penawaran untuk membeli sebagian Saham PT. Freeport Indonesia, dan bahwa PT Freeport bersedia memberi Dana perwalian kepada Masyarakat pemilik hak ulayat itu sebesar $ 1,000,000 per tahun, dengan perincian $ 500,000 untuk Masyarakat suku Amungme dan $ 500,000 untuk Masyarakat Suku Kamoro. Dana perwalian tersebut akan diambil dari Dana 1% penghasilan kotor PT Freeport Indonesia. Namun, penggunaan dana perwalian tersebut sampai saat ini tidak jelas.
Sementara itu, Masyarakat suku Amungme – Kamoro tetap miskin di atas kekayaan mereka yang berlimpah. Di pihak lain, penghasilan PT Freeport Indonesia per hari adalah $ 20.740.420. 


PEMBANGUNAN 3 DESA
(Waa, Arwanop dan Tsinga)

Pada tanggal 27 Juni 2001 diadakan penandatanganan kesepakatan antara PT. Freeport Indonesia dengan Masyarakat suku Amungme untuk pembangunan 3 desa. Isi kesepakatan tersebut antara lain: "PT. Freeport siap membangun perumahan dari kayu untuk Masyarakat Suku Amungme di Banti II, Tagabera, Opitawak, Arwanop, dan Tsinga." Dana Proyek pembangunan Tiga Desa tersebut juga diambil dari Dana 1 % penghasilan kotor PT Freeport Indonesia. Selama ini PT Freeport Indonesia menahan semua keuangan dana 1 % sejak dari 1996 – 2009 sampai dengan saat ini, dan Masyarakat dari tujuh suku dan masyarakat Papua lainnya hanya sebagai simbol saja.
Selama ini PT Freeport Indonesia hanya akan menjawab kalau timbul masalah, dan kalau tidak ada masalah dia tidak perduli terhadap Masyarakat suku Amungme pemilik hak ulayat di sekitar area operasi Pertambangan PT FI. Inisiatif dari Perusahaan PT FI terhadap Masyarakat suku Amungme tidak ada sama sekali dan ini sangat memalukan.



Rumah tinggal masyarakat suku Amungme

REALIATAS KEHIDUPAN DAN SITUASI MASYARAKAT 

Di balik kesepakatan yang telah dibuat tersebut ternyata tindakan-tindakan kekerasan terhadap Masyarakat suku Amungme terus terjadi dan berlanjut. Misalnya pada sekitar bulan Oktober 2007, PT. Freeport melakukan provokasi dengan mengadu domba antara Masyarakat suku Amungme dan suku Dani yang menyebabkan terjadinya perang suku sehingga mengakibatkan 13 orang korban berjatuhan, baik yang luka-luka maupun tewas.


Perbedaan antara Pemukiman Karyawan PT FI dengan pemilik tanah


Perbedaan antara
Pemukiman Masyarakat Amungme Desa Banti, PT FI dan Sekitarnya




BAB IV

SAHAM:     PARA PEMEGANG SAHAM


Pada saat ini, para Pemegang Saham di PT. FREEPORT INDONESIA adalah sebagai berikut:
- Pemerintah Republik Indonesia              9, 36 %

- PT. Indocopper Investama                 9, 36 %

- Freeport McMoran Copper & Gold Inc.             81, 28 %

            Jumlah                100,00 %

Karena jumlah persentase saham ini besarnya telah mencapai 100 %, maka pertanyaannya adalah: "DI MANA SAHAM UNTUK PEMILIK HAK ULAYAT MASYARAKAT SUKU AMUNGME yang telah dijanjikan oleh PT. FREEPORT INDONESIA kepada masyarakat Suku Amungme?"

Selanjutnya, manfaat finansial bagi Indonesia adalah sebagai berikut:

Manfaat Langsung: 
Pajak, Royalti, Dividen dan Pembayaran lain             $ 1, 8 Milyar / tahun

Manfaat Tidak Langsung:                         $ 1, 1 Milyar / tahun

Dan pertanyaanya adalah: "Mana Manfaat Langsung dan Tidak Langsung untuk Pemilik Hak Ulayat Masyarakat Suku Amungme?"

BAB V

PERJUANGAN UNTUK MENCARI KEADILAN DALAM KEBENARAN

GENERASI PENERUS

Tuarek Natkime, Kepala Bear Suku Amungme di lembah Waa telah pergi untuk selamanya. Tetapi kata-katanya dan inspirasinya dalam perjuangannya untuk mencqri keadilan selalu terkenang, oleh karena ada yang memanfaatkan keterbatasan pengetahuannya untuk kepentingan perusahaan terbesar kelas dunia yang menghasilkan emas, tembaga sampai berton-ton setiap hari. Janji tinggal janji. "Makan sepiring, hidup serumah" hanyalah satu impian yang sulit dicapai. Malah sekarang, Tuarek Natkime dan keturunannya telah menjadi hamba dan diperbudak oleh PT Freeport yang menjanjikan kebahagiaan bersama.
Memang PT Freeport Indonesia belum mempunyai kemauan untuk menghargai pemilik tanah ulayat. Hal ini terbukti dari pengalaman penulis sendiri sebagai anak yang ke empat dari keturunan Tuarek Natkime, yang dengan susah payah telah menjadi seorang Sarjana Hukum dan Pengacara pertama dari keluarga pemilik deposit mineral yang terbesar di dunia dalam tanah milik keluarganya.

TITUS NATKIME

Nama saya Titus Natkime, dilahirkan di Waa Tembagapura pada tanggal 12 Juli 1975, tepat setahun setelah perjanjian Januari antara Pemerintah Indonesia, PT Freeport Indonesia dan Masyarakat suku Amungme ditandatangani di Tembagapura. Dalam perjanjian itu disebutkan akan dibangun Sekolah untuk anak-anak suku Amungme, membangun Perumahan Masyarakat, klinik Kesehatan dan pengembangan Ekonomi Masyarakat setempat namun kenyataannya kosong.
Waktu saya masih kecil dan masih di bawah umur, suatu hari saya bemain dengan anak-anak Karyawan PT Freeport Indonesia di Tembagapura. Karena saat itu saya merasa lapar, maka saya berdiri di pintu masuk Mess Karyawan PT Freeport, dan kepada setiap Karyawan yang keluar dari Mess itu saya meminta makanan. Ternyata di belakang saya ada tiga orang Petugas Keamanan PT Freeport yang datang untuk menangkap saya. Saya dibawa dengan kendaraan mereka sampai di kantor Security, kemudian disuruh mandi dalam kolam yang penuh sampah PT Freeport. Setelah itu saya dimasukan dalam konteiner (rutan). dalam konteiner itu sudah ada tiga orang pemuda suku Dani. Di dalam rutan PT Freeport selama kurang lebih 1 jam, saya berteriak-teriak minta tolong. Kemudian pihak keamanan PT Freeport mengeluarkan saya dari rumah tahanan, karena umur saya masih di bawah umur; sedangkan ketiga orang pemuda tadi tetap ditahan karena umur mereka sudah 15 tahun. Dari pengalaman itu saya tidak lagi mau bermain dengan anak–anak karyawan PT Freeport Indonesia.
Ketika menginjak usia sekolah, saya menemui kesulitan karena belum ada Sekolah yang dibuat oleh PT Freeport Indonesia dan Pemerintah sesuai dengan perjanjian di atas. Untunglah pada waktu itu gereja saya membuka sekolah—walaupun dilarang oleh PT Freeport—agar anak-anak dapat bersekolah sampai ke kelas 2 sekolah dasar. Saya adalah salah satu anak yang mulai belajar membaca dan menulis dari sekitar 50 anak usia sekolah di Kampung Waa. Tidak lama kemudian sekolah itu ditutup karena ada rencana PT Freeport untuk memindahkan Masyarakat Waa ke Timika. 


Titus berdiri di pintu Mess PT Freeport, meminta makanan dari Karyawan     

Sekitar tahun 1984, banyak anggota masyarakat yang dipindahkan, termasuk kami, anak-anak sekolah pada masa itu. Sekitar 20 anak dikirim ke Timika. Tetapi beberapa orang Amungme, termasuk orang tua saya menolak pemindahan ke Timika itu. Namun saya mengambil keputusan untuk pindah ke Timika semata-mata agar saya bisa masuk di sekolah dasar. Syukurlah, saya diterima kelas II SD INPRES Kwamki Lama, Timika pada Tahun 1984, bersama teman-teman saya. Di situ kehidupan susah dan berbahaya karena penyakit malaria dan udaranya panas, tidak seperti di Kampung Waa, Tembagapura.
Setelah tahun ketiga, semua teman saya sudah kembali ke kampung Waa Tembagapura. Saat itu saya menjadi anak angkat seorang guru Sekolah Dasar INPRES Kwamki Lama. Dia baik sekali terhadap saya, walaupun saya harus bekerja keras untuk mendapatkan sepiring nasi. Oleh pertolongan Tuhan, saya Tamat SD Tahun 1988 dan langsung melanjutkan ke SMP Persiapan Negeri Koprapoka, Timika.


Titus Natkime dan kawan2 saat orang barat mandi di Mile 36, Thn 1988

Setelah tiga tahun menyelesaikan Pendidikan SMP, saya diajak oleh Abang Klemen Tinal (saat ini beliau adalah Bupati Mimika) untuk melanjutkan Pendidikan Sekolah di SMA Kristen Hidup Baru di Ciumbuleuit, Bandung.

KEHIDUPAN DI KOTA BANDUNG

Kota Bandung merupakan tempat yang baru dan asing bagi saya. Ayah saya, Tuarek Natkime, adalah pemilik hak ulayat penambangan emas dan tembaga terbesar di dunia; tetapi saya harus belajar mencuci mobil, menjadi kenek Angkot, sementara mama saya harus memelihara babi, berkebun dan berjualan untuk membiayai sekolah saya di Bandung pada saat itu.


Titus Natkime, berdiri di depan Alun-alun Bandung 1993
Tahun 1994, saya tamat dari SMA dan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Saya mengambil jurusan Hukum dan masuk di Sekolah Tinggi Hukum Bandung. Selama saya menjalani Pendidikan, mama dan kakak saya terus membantu biaya kuliah saya. Dan pada Tahun 1999 saya berhasil menyelesaikan pendidikan dan diwisuda dan menjadi Sarjana Hukum dengan Skripsi : Aspek Hukum Lingkungan Terhadap Pelaksanaan Penambangan Oleh PT Freeport Indonesia Company di Hubungkan dengan Perlindungan Hukum Hak Ulayat Suku Amungme di Kabupaten Daerah Tingkat II Mimika Papua.

Selama saya bersekolah di SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi, saya tidak pernah mendapatkan beasiswa, dan bantuan berupa apapun dari PT Freeport Indonesia, pada hal PT Freeport Indonesia telah mengambil kekayaan emas, tembaga, uranium dan kapur di tanah hak ulayat keluarga Natkime.




Titus Natkime, SH. Pada Wisuda Sarjana Hukum Tahun 1999
 
BEKERJA SEBAGAI KARYAWAN PT FREEPORT
 
Tidak antara lama setelah lulus dari Perguruan Tinggi, saya memulai karir saya. Pada tanggal 8 Maret 2000, saya diterima menjadi karyawan PT FI di Jakarta sebagai Supervisor Departemen Government Relations PT Freeport.


Titus Natkime sebagai Karyawan PT Freeport sedang mengikuti seminar
 
Selama, kurang lebih sembilan tahun menjadi karyawan PT Freeport, saya berkesempatan menerima dan mendapatkan banyak hal baru sebagai pelajaran dan pengalaman saya sebagai seorang karyawan.
Namun dengan berjalannya waktu, pada akhirnya sayapun menyadari bahwa di dalam management PT Freeport masih sangat kental dengan unsur-unsur diskriminasi terselubung yang antara lain terkait dengan masalah-masalah suku, agama, kolega, politik dll., terutama terhadap orang Papua seperti saya.
Management PT Freeport Indonesia selama ini tidak memberikan sepenuhnya kepada kami, orang Papua tugas, wewenang dan tanggungjawab sebagaimana semestinya di dalam perusahaan itu dengan alasan "ketidakmampuan" kami orang Papua. Selain itu. Namun, di lain pihak, Management juga tidak pernah memberikan kepercayaan dan kesempatan sepenuhnya kepada kami orang Papua untuk dapat menunjukkan "kemampuan" yang ada pada kami. Yang lebih sering terjadi ialah langsung memberikan ultimatum dan mengangkat orang lain untuk menduduki posisi yang lebih tinggi dan dengan tugas, wewenang dan tanggungjawab yang lebih tinggi pula.
Kenyataannya, selama saya bekerja sebagai Karyawan PT Freeport Indonesia, perusahaan tidak pernah memberikan kepada kami, orang Papua termasuk saya, peningkatan dalam karir maupun tugas, wewenang dan tanggung jawab. Selama lebih dari sembilan tahun saya bekerja, saya masih tetap berada pada Jenjang/Level 1 seperti ketika saya diterima di Perusahaan itu, sementara banyak rekan Karyawan lainnya yang menerima peningkatan karir padahal masa kerja mereka masih baru.
Diskriminasi terselubung di atas hanya bisa dirasakan oleh kami para karyawan dari Papua. sebagai kaum minoritas yang tidak mempunyai kekuatan di dalam Perusahaan. Kami hanya bisa berharap – atau, lebih tepat – selalu menjadi penonton dan kuli selama ini.
Dengan segala kondisi yang ada ini, kami orang Papua sebenarnya merasa sangat disisihkan—walaupun ada kesan bahwa saya diperlakukan secara khusus dalam beberapa hal dibanding dengan karyawan-karyawan yang lain. Namun sebagai seorang yang punya kapasitas, selama ini saya hanya menunggu waktu dan berharap akan adanya perubahan dan pengertian dari pihak management PT Freeport, akan tetapi ternyata semua itu tidak ada dan tidak akan pernah terjadi bilamana kami orang Papua hanya berdiam saja.
Itulah sebabnya saya memutuskan untuk beroposisi—baik secara langsung maupun tidak langsung—di mana saya mengingat kembali seluruh peristiwa sejarah PT Freeport Indonesia dari awal; dan hal ini memacu dan membuka pemikiran dan hati saya bahwa saya adalah bagian dari Pemilik/Pewaris Hak Ulayat yang ada, dan tidak sepantasnyalah kalau saya—sebagai seorang pewaris—diperlakukan seperti yang saya alami selama ini. Saya merasa bahwa hal ini tidaklah adil untuk saya dan semua keluarga saya dengan kehidupan yang ada, dibandingkan dengan kehidupan para petinggi-petinggi PT Freeport Indonesia dan para pejabat Pemerintah yang mengambil bagian di dalam kepemilikan saham PT Freeport. Saya bertambah yakin bahwa keberadaan saya sebagai karyawan PT Freeport tidak akan membawa saya lebih jauh dan maju bilamana saya terus berdiam sebagai Karyawan PT Freeport, karena saya tidak lain hanyalah seseorang dengan jabatan karyawan kuli di PT Freeport Indonesia. 

Akhirnya, pada tanggal 20 Mei 2009 saya secara resmi mengundurkan diri dari PT Freeport Indonesia.
Saya mengundurkan diri dari PT Freeport Indonesia adalah karena panggilan hati melihat kehidupan Masyarakat kami yang semakin menderita di tanahnya sendiri. Selain itu, selama bekerja di perusahaan itu, saya sangat merasakan suatu ketidakadilan maupun diskriminasi, di mana selama sembilan tahun lebih saya bekerja, sejak dari awal karier sampai saya mengundurkan diri dari PT Freeport Indonesia, saya tidak pernah dihargai,.
Setelah saya keluar dari PT Freeport Indonesia, pembayaran pesangon yang telah dibayarkan oleh pihak Management PT Freeport kepada saya adalah sebesar Rp. 14.902.506,00 yang ditransfer ke rekening saya pada tanggal 24 Juni 2009. Namun rincian gaji saya perbulan yang selama ini saya dapatkan dari PT Freeport Indonesia adalah sebagai berikut:
  1. Gaji pokok                                  Rp. 9.676.000
  2. Biaya untuk bahan bakar         Rp. 2.500.000
  3. Biaya kendaraan                       Rp. 1.500.000
                            Jumlah                    Rp. 13.676.000.00
 
Pembayaran tersebut merupakan suatu Penghinaan bagi saya, karena saya mengabdi di PT Freeport Indonesia sudah lebih dari sembilan tahun. Dan bila berdasarkan peraturan Undang-undang Tenaga Kerja, apakah patut dan pantas nilai sebesar tersebut?.

PERBEDAAN KONDISI PENDIDIKAN 

Dengan belajar dari dan lewat riwayat pendidikan saya ini, saya mendapat gambaran yang jelas tentang pendidikan di Tanah Papua, khususnya penyelenggaraan pendidikan umum di Lembah Waa, Aroanop dan Tsinga di sekitar area PT Freeport Indonesia Tembagapura. Secara resmi pendidikan sekolah dasar bagi Masyarakat asli suku Amungme di Waa Banti, baru saja dimulai pada tahun 1997. Hal itu pun terjadi setelah masyarakat dari tujuh suku melakukan demonstrasi masal di lingkungan PT Freeport Indonesia yang mengakibatkan Produksi Tambang tutup selama tiga harimulai tanggal 12–14 Maret 1996. 




MASYARAKAT MERASAKAN PENTINGNYA PENDIDIKAN

Pada Tahun 1998, anak-anak masyarakat suku Amungme baru dapat memulai merasakan pentingnya pendidikan (Sekolah Dasar). Hal ini terjadi akibat tuntutan masyarakat pada tragedi tahun 1996, ketika terjadi demonstrasi masal Masyarakat Amungme berikut tujuh suku lain terhadap PT Freeport Indonesia sehingga pada akhirnya PT Freeport Indonesia berjanji untuk memberikan dana sebesar 1% dari penghasilan kotor untuk masyarakat tujuh suku yang dikelola oleh LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro).
Mengapa pendidikan itu baru dimulai di Banti, Tsinga dan Arwanop? Apakah itu merupakan bagian dari strategi Penguasa untuk mengambil kekayaan alam ini secara rakus dan dengan kekerasan?
Tentu saja! Itulah yang disebut proses pembiaran masyarakat. Karena diduga bahwa berdasarkan tingkah laku PT Freeport selama ini, PT Freeport mempunyai pemikiran kuat bahwa kalau orang Amungme mempunyai pengetahuan yang tinggi, berpikir kritis dan memiliki kemampuan menganalisis kondisi dan lingkungan, maka itu akan mengganggu operasi perusahaan yang telah mengambil berton-ton emas, perak, tembaga keluar dari Tanah Amungme, tanpa harus peduli terhadap kesejahteraan Masyarakat asli. Orang Amungme tidak boleh ada yang pintar, tidak boleh ada yang mampu bersaing dengan orang Indonesia lainnya. Karena hal itu juga akan menjadi ancaman bagi orang-orang luar Papua yang datang bekerja dan merebut jabatan-jabatan penting di PT. Freeport Indonesia. Proses pembiaran melalui pendidikan inilah salah satu hal yang diduga merupakan suatu kejahatan kemanusiaan yang telah berlangsung selama 42 tahun lebih sejak tahun 1967, ketika PT Freeport Indonesia beroperasi di Tanah Papua.

PROSES PEMBIARAN TERHADAP MASYARAKAT ASLI SEKITARNYA

Proses pembiaran itu terjadi bukan saja dalam bidang pendidikan dengan tidak menyediakan kesempatan belajar bagi warga Masyarakat asli di sekitar daerah Tembagapura, tetapi juga terjadi dalam semua aspek kehidupan Masyarakat pemilik hak ulayat, yaitu atas kesehatan, pembunuhan penduduk asli tanpa pengadilan yang jelas, pembiaran untuk saling membunuh (perang suku), pembiaran untuk tidak berkembang mengikuti kemajuan dunia, politik memecah belah antara suku-suku yang selama ini hidup bersama-sama, saling bergandengan tangan dan juga menuduh orang Amungme melakukan kejahatan kemanusiaan atau pembunuhan terhadap orang sipil dan guru orang Amerika di Tembagapura, padahal yang melakukan hal tersebut adalah pihak yang tidak bertanggungjawab. Semua ini telah menjurus kepada pemusnahan suatu etnis atau 'genosida'.
BAB VI

HARAPAN BARU 

MASA DEPAN PAPUA

Dengan semua yang telah terjadi selama puluhan tahun ini, tidak ada alasan untuk berharap agar waktu bisa diputar kembali, yang ada hanyalah apa yang akan terjadi di hari-hari dan masa-masa yang akan datang sebagai cita-cita masa depan bagi Masyarakat Papua pada umumnya khususnya Suku Amungme dan sekitarnya yang masih jauh dari kesejahteraan yang seharusnya dimiliki dan dirasakan oleh Masyarakat sebagai Pemegang Hak Ulayat yang mana pada kenyataannya masih jauh dan hampir tidak mungkin.
Namun dengan tekad dan semangat perjuangan untuk mencari keadilan dan kebenaran yang didukung oleh pada situasi Pemerintahan Papua Baru ini, semoga ada PT. Freeport baru yang sesuai dengan impian Papua Baru yang dicita-citakan juga oleh Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH.

BARNABAS SUEBU, SH. 
 
Beliau mengatakan bahwa PT. Freeport Indonesia harus bertindak secara transparan dan terbuka karena semua yang telah dilakukan selama ini akan terlihat, tertangkap dan terbukti. Itu tinggal menuggu waktu saja. Tahun 1967 adalah tahun-tahun isolasi, PT. Freeport bisa membuat apa saja yang dia mau di areal penambangan emas dan tembaga ini, tetapi tahun-tahun terakhir ini adalah tahun-tahun dimana kita sulit mengatasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk membuka kedok penipuan dan kelicikannya lagi. Teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang ini akan membuka kejahatan kemanusiaan yang dilakukan selama ini secara tersembunyi. 





Barnabas Suebu bersama Titus Natkime

Hak ulayat yang belum dibayar hingga saat ini masih dituntut oleh Masyarakat suku Amungme, sementara dana perwalian, dana 1%, royalty yang seharusnya diberikan kepada Masyarakat pemilik tanah adat, yang malah diberikan kepada Kabupaten-kabupaten di Papua melalui para Bupati yang ada di sekitar areal penambangan emas dan tembaga dan diduga ditransfer langsung ke rekening pribadi (tidak masuk dalam anggaran pembangunan Masyarakat), dan janji-janji lainnya belum dilaksanakan secara adil dan professional.
Belum lagi tuntutan Masyarakat adat untuk pembayaran saham 10% bagi Masyarakat adat dari keuntungan bersih usahanya. Semua ini diminta supaya dibuka untuk diselesaikan secara transparan. PT.Freeport Indonesia harus meminta maaf kepada orang Amungme dan Kamoro dan juga kepada seluruh orang Papua demi kebersamaan kita sebagai umat manusia yang menghuni bumi yang sama demi keadilan di bumi yang kita sama-sama cintai. 

BAB VII

TUJUAN PERJUANGAN MENCARI KEADILAN


HATI BICARA


"Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah." Pepatah inilah yang seharusnya selalu menjadi parimeter yang dipakai untuk melihat kondisi dan situasi kehidupan nyata Masyarakat Suku Amungme dan sekitarnya sejak dari lahirnya PT Freeport sebagai "Pemilik Modal" dan Masyarakat Suku Amungme sebagai "Pemilik Hak Ulayat dan Kekayaan Sumber Daya Alam (emas, tembaga, dll)." Namun apakah pepatah itu menjadi kenyataan atau hanya sekedar sebuah slogan yang dilontarkan begitu saja tanpa melibatkan "hati" yang sesungguhnya? Ternyata, hingga kini semuanya tidak seperti yang dijanjikan.




Titus Natkime dan J.B Moffett; "Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah"

PROSES HUKUM

Sebagai seorang manusia biasa yang juga adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak yang sama di bawah Undang-Undang Negara Republik Indonesia dan juga Hukum yang berlaku, maka keseluruhan dari perjalanan perjuangan ini akan berjalan sesuai proses Hukum yang berlaku dan tentunya semua diharapkan akan memberikan suatu jawaban dan hasil yang adil dan wajar bagi semua pihak, terutama bagi Pemilik Hak Ulayat, yaitu Masyarakat Suku Amungme dan Masyarakat Papua seluruhnya.
Dan sebagaimana proses Hukum yang telah berjalan oleh karenanya gugatan terhadap PT Freeport Indonesia sudah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, di bawah daftar No:1247/Pdt.G/2009/PN.JKT Sel, Tanggal 27 Mei 2009 oleh Tim Kuasa Hukum Masyarakat Suku Amungme.

BAB IX

PENUTUP
TERIMA KASIH 

Terima kasih untuk seluruh pihak yang membaca dan turut membantu dan mendukung upaya perjalanan perjuangan ini demi mewujudkan "keadilan" yang harus ditegakkan dan tentunya dengan seizin-Nyalah semua akan terjadi. Kikranya Tuhan Memberkati!